IDEAOnline- Menyusul berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek, para arsitek Indonesia telah menetapkan arahan Garis Besar Kebijakan Organisasi (GBKO) menuju paradigma baru.
Inilah yang menjadi hasil dari Musyawarah Nasional (Munas) Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) XVI, di Bali.
IAI juga telah memilih Ketua Umum-nya yang baru, yakni Ar. Georgius Budi Yulianto, IAI, AA yang berasal dari IAI Jawa Barat menggantikan Ar. I Ketut Rana Wiarcha, IAI, AA.
Nama kedua, atau Bli Rana, sebutan akrabnya, merupakan sosok yang sangat berpengalaman dalam mendampingi proses lahirnya UU Arsitek tersebut. Termasuk dampak lanjutannya dalam pranata pembangunan ke depan yang akan sangat berpengaruh pada praktik profesional arsitek di Indonesia.
Tentunya estafet kepada Ketua Umum baru ini akan terus berlanjut, dan semoga juga menjadi momentum baik bagi para generasi arsitek-arsitek muda IAI untuk maju bersama organisasinya.
Tak hanya UU Arsitek, untuk mengatur lebih jauh standar kerja dan praktik arsitek profesional, pemerintah melengkapi beleid ini dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2021.
Hal inilah yg perlu menjadi perhatian para praktisi arsitek, tidak hanya generasi mudanya, namun juga generasi pendahulu arsitek Indonesia.
Ada dua implikasi besar yang perlu disadari yaitu:
Pertama, bahwa tidak sembarang orang bisa disebut arsitek, karena predikat tersebut hanya melekat pada arsitek yang telah mendapat sertifikat kompetensi atau Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA) yang dikeluarkan oleh Dewan Arsitek Indonesia (DAI).
Dan DAI hanya memproses ajuan registrasi melalui rekomendasi maupun nilai kompetensi (kum) yang dikumpulkan selama yang bersangkutan mengikuti kegiatan di asosiasi profesi bernama IAI.
Kedua, bahwa arsitek yang telah sah berpraktik sesuai UU Nomor 6 Tahun 2017, harus memerhatikan mekanisme dan standar kerja maupun kinerja yang telah ditetapkan Pemerintah.