Namun, faktor itulah yang membuat sayur-mayur yang dihasilkan dari kebun hidroponik memiliki segmen pasar tersendiri.
Menurutnya, kesadaran orang akan hidup sehat saat pandemi Covid-19 membuat permintaan sayuran dari kebun hidroponik meningkat.
Berbeda dengan sayuran yang dijual di pasar, hidroponik menghasilkan sayuran yang relatif lebih segar dan bebas pestisida.
"Selain dari perorangan, pembeli banyak juga dari restoran-restoran dan beberapa hotel. Kalau ke swalayan belum masuk, karena harus kontinu. Saya sendiri berencana memperluas kebun," ucap Ginanjar yang saat mengelola kebun seluas 20x15 meter yang dibantu dua orang tenaga kerja.
Ginanjar yang biasa memanen sayur sepekan sekali ini bisa menjual hingga 400 kilogram berbagai jenis sayuran dalam sebulan.
Beberapa sayuran yang dihasilkan di kebunnya antara lain kale, selada, dan berbagai jenis sawi seperti pakchoy, caisim, dan sawi putih.
"Primadona saat ini kale, harganya per kilogram bisa sampai Rp 120.000. Lalu selada Rp 40.000, sawi saya jual Rp 35.000. Meski lebih mahal dari sayuran di pasar, sayur hidroponik semakin banyak dicari," tuturnya.
Untuk penjualan, Ginanjar mengandalkan penjualan langsung dan promosi via online, khususnya lewat Instagram.
Selain sayuran, pria kelahiran 17 Oktober 1989 ini juga berencana menanam buah-buahan di kebun hidroponik miliknya.
Di awal merintis usahanya, dia sempat mencoba menjual panen sayurnya ke pasar.
Namun rupanya kurang diminati karena faktor harga.
Kualitas sayur hidroponik memang lebih bagus, karena kesegarannya bisa bertahan berhari-hari dibandingkan sayur yang sama yang dijual di pasaran.